Sabtu, 24 Oktober 2009

Siapa Pendaki Pertama Puncak Gunung Gede-Pangrango?





Raffles mengunjungi gunung Gede pada tahun 1811 dan dalam jabatannya sebagai Letnan Gubernur Jawa telah membuat kontruksi jalan setapak di sebelah Tenggara lereng gunung Gede, sisa-sisanya masih dapat dilihat disana.
Reinwrdt, pendiri Kebun Raya Bogor (Buitenzorg Botanic Garden) menginjakan kakinya di puncak gunung Gede pada bulan April tahun 1819. Namun demikian dia mempercayai bahwa seorang geologis/dokter Amerika yang bernama Thomas Horsfield telah mendaki gunung tersebut, tetapi tanggal pastinya tidak diketahui. Sebagi seorang rekan dari pendiri Zoological Society of London, Horsfield mengumpulkan specimen sejarah alam selama melakukan riset di Jawa dari tahun 1802 sampai 1819.
Pendaki pertama yang tercatat melalui Cibodas dilakukan oleh Blume mendaki lewat Cibeureum, Air Panas dan Kandang Badak, dimana rute tersebut kini banyak digunakan oleh para pendaki. Dari Kandang Badak dia berjalan kearah kawah, menyusuri kaki gunung Gede yang terjal dan memotong jalan melewati tebing hutan yang curam dan berbahaya, untuk masuk kesebelah Utara yang berkahir dialun-alun Suryakencana.
Dari padang rumput tersebut, Blume kemudian membuat jalan pendek yang mengharuskan dia mendaki tebing yang curam dan melewatu hutan sub alpin menuju puncak gunung.
Penghargaan pendaki pertama Gunung Gede-Pangrango yang sangat controversial diberikan kepada orang Jerman, Junghun, yang telah menemukan sebuah kawah kecil pada bulan April 1839. Akan tetapi beberapa tahun sebelumnya, pada bulan Agustus 1821, Kuhl dan Van Hasselt, dua orang biologis muda yang bekerja di Netherlands Commission for Natural Sciences, telah menulis surat yang menggambarkan bagaimana mereka mengikuti jejak badak menuju ke puncak gunung, Junghun sangat meragukan bahwa muncul karena mereka gagal menjelaskan tentang sejenis bunga ros (theimerial rose). Saat itu jenis tanaman yang spektakuler ini hanya tumbuh di kawah gunung Pangrango. Di Pulau Jawa tanaman tersebut hanya tercatat dibeberapa gunung yang tinggi, dan itupun hanya jenis-jenis yang benar-benar menarik perhatian.
Teysmann, yang kemudian menjadi Direktur Kebun Raya tersebut, mendukung pernyataan pertama. Pertentangan yang dibiarkan berlarut-larut menjadi semakin buruk dengan adanya kritikan Junghuhn yang tajam terhadap Teysmann yang membuka lahan hutan dalam rangka menanam tumbuhan dari luar. Sayangnya Heinrich Kuhl dan J. Van Hasselt tidak dapat diajak berunding karena mereka meninggal di Bogor pada usia muda yaitu 24 dan 26 tahun karena penyakit daerah tropis.
Identitas dari pendaki pertama yang menjejakan kaki di puncak gunung tidak akan pernah diketahui sampai saat ini, mungkin mereka yang menganut agama Hindu dari Kerajaan Pajajaran atau mungkin anggota masyarakat yang lebih tua dari masyarakat Kerajaan Pajajaran. Tidak diragukan lagi siapapun yang telah melihat kebawah dari puncak gunung tersebut pada waktu silam akan menemukan di Jawa lebih dari setengah juta tahun yang lalu. Baca Selanjutnya..

Selasa, 20 Oktober 2009

Gunung Lawu, solo jawa tengah


Gunung Lawu


Gunung Lawu (3.265 m) terletak di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api "istirahat" dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang (solfatara). Gunung Lawu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous.

Gunung Lawu memiliki tiga puncak, Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi.

Di lereng gunung ini terdapat sejumlah tempat yang populer sebagai tujuan wisata, terutama di daerah Tawangmangu, Cemorosewu, dan Sarangan. Agak ke bawah, di sisi barat terdapat dua komplek percandian dari masa akhir Majapahit: Candi Sukuh dan Candi Cetho. Di kaki gunung ini juga terletak komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran: Astana Girilayu dan Astana Mangadeg. Di dekat komplek ini terletak Astana Giribangun, mausoleum untuk keluarga presiden kedua Indonesia, Suharto.


Pendakian

Gunung Lawu sangat populer untuk kegiatan pendakian. Setiap malam 1 Sura banyak orang berziarah dengan mendaki hingga ke puncak. Karena populernya, di puncak gunung bahkan dapat dijumpai pedagang makanan.

Pendakian standar dapat dimulai dari dua tempat (basecamp): Cemorokandang di Tawangmangu, Jawa Tengah, serta Cemorosewu, di Sarangan, Jawa Timur. Gerbang masuk keduanya terpisah hanya 200 m.

Pendakian dari Cemorosewu melalui dua sumber mata air: Sendang (kolam) Panguripan terletak antara Cemorosewu dan Pos 1 dan Sendang Drajat di antara Pos 4 dan Pos 5.

Pendakian melalui Cemorokandang akan melewati 5 selter dengan jalur yang relatif telah tertata dengan baik.

Pendakian melalui cemorosewu akan melewati 5 pos. Jalur melalui Cemorosewu lebih nge-track. Akan tetapi jika kita lewat jalur ini kita akan sampai puncak lebih cepat daripada lewat jalur Cemorokandang. Pendakian melalui Cemorosewu jalannya cukup tertata dengan baik. Jalannya terbuat dari batu-batuan yang sudah ditata.

Jalur dari pos 3 menuju pos 4 berupa tangga yang terbuat dari batu alam. Pos ke4 baru direnovasi,jadi untuk saat ini di pos4 tidak ada bangunan untuk berteduh. Biasanya kita tidak sadar telah sampai di pos 4.

Di dekat pos 4 ini kita bisa melihat telaga Sarangan dari kejahuan. Jalur dari pos 4 ke pos 5 sangat nyaman, tidak nge-track seperti jalur yang menuju pos 4. Di pos2 terdapat watu gedhe yang kami namai watu iris(karena seperti di iris).

Di dekat pintu masuk Cemorosewu terdapat suatu bangunan seperti masjid yang ternyata adalah makam.Untuk mendaki melalui Cemorosewu(bagi pemula) janganlah mendaki di siang hari karena medannya gag nguatin untuk pemula.

Di atas puncak Hargo Dumilah terdapat satu tugu.

Misteri gunung Lawu

Gunung Lawu menyimpan misteri pada masing-masing dari tiga puncak utamanya dan menjadi tempat yang dimitoskan sebagai tempat sakral di Tanah Jawa. Harga Dalem diyakini sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, Harga Dumiling diyakini sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, dan Harga Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebagai ajang menjadi kemampuan olah batin dan meditasi.

Konon gunung Lawu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan berhubungan erat dengan tradisi dan budaya Keraton Yogyakarta.

Setiap orang yang hendak pergi ke puncaknya harus memahami berbagai larangan tidak tertulis untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan. Bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas.

Tempat-tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat yakni: Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat Kepanasan/Cakrasurya, dan Pringgodani.

Legenda gunung Lawu

Cerita dimulai dari masa akhir kerajaan Majapahit (1400 M) pada masa pemerintahan Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas). Dua istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Raden Fatah, dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong.

Raden Fatah setelah dewasa agama islam berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Dan bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Raden Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi (Demak).

Melihat kondisi yang demikian itu , masygullah hati Sang Prabu. Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dalam semedinya didapatkannya wangsit yang menyatakan bahwa sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan Demak.

Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang kepala dusun yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Merekapun pergi bersama ke puncak Harga Dalem.

Saat itu Sang Prabu bertitah, "Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus mundur, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib dengan wilayah ke barat hingga wilayah gunung Merapi/gunung Merbabu, ke timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.

Tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini.

Singkat cerita Sang Prabu Brawijaya pun muksa di Harga Dalem, dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.


Baca Selanjutnya..